bismillahirahmanirrahim,,
cahaya mulya mulyaningsun urip ingsun,
iya iku kang ngimpuni nyawane si...........wis kawengku dening dening nyawaku,
teko kedep teko lerep teko nurut manut si.....................menyang aku cahya mulya mulyaningsun,urip ingsun,iya iku kang ngimpune nyawane si......
wis kakekap dening nyawaku,teko kedep,teko lerep,teko nurut,teko manut si.......menyang aku,nurut manut saka kersaning gusti Allah,
Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasululloh.....
syaratnya tidak perlu puasa .
baca mantra 3x sebelum menemui orang yang kita temui , setelah membaca mantra pijakkan kaki 3 x ke tanah setelah itu baru temui orang yang di tuju.
BLOG SEJATI
tempat kumpulan-kumpulan ilmu pelet & aji-aji kesaktian dari berbagai khasanah tanah jawa dan melayu di sajikan untuk para pengemar ilmu kedigjayaan yang di kumpulkan dari berbagai sumber....
Senin, 20 Desember 2010
pelet mahabbah sulthoniyah
GUS SANTRI
muhammadmubarok17@gmail.com Assalamu’alaikum, salam hormat takdzim dan menjura dalam kepada Ki Wong Alus, Sang Rektor KWA. Perkenankanlah saya memberikan ijazah MAHABBAH SULTHONIYAH yang sudah lama saya janjikan kepada panjenengan dan para sedulur yang membutuhkan.
MAHABBAH SULTHONIYAH adalah sebuah amalan mahabbah umum agar dicintai orang banyak dan diberi kewibawaan. Digunakan ketika akan tampil di muka umum seperti berpidato bg Muballigh,mengajar bg Guru atau Ustadz, bercakap cakap dg siapapun.
Pengamalnya dg izin ALLAH akan mudah menyampaikan maksudnya, didengarkan, dicintai, dan dijaga dr hal hal yg tidak pas atau merugikan diri sendiri. Mengapa disebut SULTHONIYAH yg berarti KESULTANAN atau KERAJAAN karena ilmu seperti ini sangat dibutuhkan bg para pemimpin khususnya SULTAN atau RAJA agar selalu dicintai rakyatnya. Alasan kedua, karena adanya lafadz SULTHON dalam ayat yg diamalkan.
AMALAN MAHABBAH SULTHONIYAH:
Berpuasa biasa selama seminggu, mutih lebih baik. Selama puasa mewiridkan ayat MAHABBAH SULTHONIYAH 7X setelah sholat lima waktu. Setelah selesai puasa dilanjutkan terus amalannya secara istiqomah selamanya. Minimal setelah subuh dan maghrib. Berikut wiridnya:
1. Hadiah alfatihah masing2 satu kali kepada NABI MUHAMMAD SAW, NABI IBROHIM AS, NABI ISMA’IL AS, NABI DAWUD AS, NABI SULAIMAN AS, NABI YUSUF AS, PARA NABI DAN ROSUL, PARA MALAIKAT KHUSUSNYA JIBRIL MIKAIL ISROFIL ‘IZROIL, SEMUA SAHABAT NABI KHUSUS ABU BAKAR ‘UMAR BIN KHOTOB UTSMAN BIN AFFAN ALIBIN ABI THOLIB, SYEKH ‘ABDUL QODIR AL JAILANI, WALI SONGO, ABI WA UMI, K YUSUF DAWUD KEDIRI, MAN AJAZANI, ORANG ORANG YANG DIHADAPI ATAU DITUJU
2. Membaca ayat MAHABBAH SULTHONIYAH, yakni surat Bani Isra’il/Al Isra’, juz 15, ayat 80:
WA QUR ROBBI ADKHILNII MUDKHOLA SHIDQIW WA AKHRIJNII MUKHROJA SHIDQIW WAJ’AL LII MIL LADUNGKA SHULTHOONAN NASHIIROO 7X
Amalan diatas saya dapat dari K YUSUF DAWUD, pengasuh PP TARBIYATUL QUR’AN KEDIRI. Beliau jg merupakan sesepuh JAM’IYYATUL QURRO’ WAL HUFFADZ TK NASIONAL INDONESIA.
Saya sendiri jg selalu mengamalkan wirid tersebut. Dan saya ajarkan pada santri santri yg belajar di pesantren kami. Mudah mudahan manfa’at dan barokah..
Wassalamu’alaikum wr wb.
muhammadmubarok17@gmail.com Assalamu’alaikum, salam hormat takdzim dan menjura dalam kepada Ki Wong Alus, Sang Rektor KWA. Perkenankanlah saya memberikan ijazah MAHABBAH SULTHONIYAH yang sudah lama saya janjikan kepada panjenengan dan para sedulur yang membutuhkan.
MAHABBAH SULTHONIYAH adalah sebuah amalan mahabbah umum agar dicintai orang banyak dan diberi kewibawaan. Digunakan ketika akan tampil di muka umum seperti berpidato bg Muballigh,mengajar bg Guru atau Ustadz, bercakap cakap dg siapapun.
Pengamalnya dg izin ALLAH akan mudah menyampaikan maksudnya, didengarkan, dicintai, dan dijaga dr hal hal yg tidak pas atau merugikan diri sendiri. Mengapa disebut SULTHONIYAH yg berarti KESULTANAN atau KERAJAAN karena ilmu seperti ini sangat dibutuhkan bg para pemimpin khususnya SULTAN atau RAJA agar selalu dicintai rakyatnya. Alasan kedua, karena adanya lafadz SULTHON dalam ayat yg diamalkan.
AMALAN MAHABBAH SULTHONIYAH:
Berpuasa biasa selama seminggu, mutih lebih baik. Selama puasa mewiridkan ayat MAHABBAH SULTHONIYAH 7X setelah sholat lima waktu. Setelah selesai puasa dilanjutkan terus amalannya secara istiqomah selamanya. Minimal setelah subuh dan maghrib. Berikut wiridnya:
1. Hadiah alfatihah masing2 satu kali kepada NABI MUHAMMAD SAW, NABI IBROHIM AS, NABI ISMA’IL AS, NABI DAWUD AS, NABI SULAIMAN AS, NABI YUSUF AS, PARA NABI DAN ROSUL, PARA MALAIKAT KHUSUSNYA JIBRIL MIKAIL ISROFIL ‘IZROIL, SEMUA SAHABAT NABI KHUSUS ABU BAKAR ‘UMAR BIN KHOTOB UTSMAN BIN AFFAN ALIBIN ABI THOLIB, SYEKH ‘ABDUL QODIR AL JAILANI, WALI SONGO, ABI WA UMI, K YUSUF DAWUD KEDIRI, MAN AJAZANI, ORANG ORANG YANG DIHADAPI ATAU DITUJU
2. Membaca ayat MAHABBAH SULTHONIYAH, yakni surat Bani Isra’il/Al Isra’, juz 15, ayat 80:
WA QUR ROBBI ADKHILNII MUDKHOLA SHIDQIW WA AKHRIJNII MUKHROJA SHIDQIW WAJ’AL LII MIL LADUNGKA SHULTHOONAN NASHIIROO 7X
Amalan diatas saya dapat dari K YUSUF DAWUD, pengasuh PP TARBIYATUL QUR’AN KEDIRI. Beliau jg merupakan sesepuh JAM’IYYATUL QURRO’ WAL HUFFADZ TK NASIONAL INDONESIA.
Saya sendiri jg selalu mengamalkan wirid tersebut. Dan saya ajarkan pada santri santri yg belajar di pesantren kami. Mudah mudahan manfa’at dan barokah..
Wassalamu’alaikum wr wb.
aji bayu
“Pamuji rahayu.., monggo Ki dipun lanjut ilmunipun … kulo suwun upami mboten awrat penggalih, dipun wedar ngilmu aji maruta…, supaya saya kalu bepergian jauh ndak usah naik kendaraan Ki.. ngirit ongkos hehehe…maklum bensin mahal, aftur juga mahal…,naik piet onthel ga tekan tekan je….hehehe..kesuwen. nyuwun jembaring penggalih pangapunten.matur sembah nuwun. salam sihkatresnan, Rahayu….
Sebagai rasa hormat saya kepadanya sekaligus untuk nguri-uri kebudayaan lokal yang kaya dimensi dan penuh dengan kearifan, maka pada kesempatan ini akan dibeber soal ilmu aji bayu bajra yang serupa dengan aji maruta.
Sekitar tahun 80-an di kawasan selatan gunung Semeru, perbatasan Kabupaten Lumajang-Malang, Jatim di hutan lindung yang lebat masih banyak menjumpai orang-orang yang memiliki ilmu/Aji Bayu Bajra. Mereka pating gleber seperti burung. Hinggap (Menclok) dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Persis seperti di film-film silat. Yang membedakan adalah saat kita dekati, mereka akan menjauh dan sama sekali tidak ingin identitasnya diungkap.
Suatu ketika dalam sebuah maneges, saya menjumpai seseorang pemilik ajian bayu bajra di wilayah itu. Duduk bersila di sebuah batu besar di tengah sungai mengalir gemericik. Saya mencoba menyapanya dengan salam. Dia tidak menjawab. Baru ketika saya mencoba untuk menggunakan bahasa tubuh yang artinya bahwa saya ingin bercakap-cakap dengannya, maka dia akhirnya memberi isyarat. Jari telunjuknya ditempatkan di depan mulut. Matanya memandang santun dan lembut mata saya. Sebuah sorotan yang sejuk namun tegas dan berdaya.
Batin saya langsung membaca ini orang waskita yang tidak sembarangan: dia sedang maneges kepada Gusti. Belum sempat saya meneruskan komunikasi dengan bahasa tubuh yang lain, dia langsung meloncat ke sebuah pohon yang rimbun dan meneruskan melompat ke pohon yang lain. Hingga akhirnya hanya gerakan-gerakan dedaunannya saja yang terlihat. Orang waskita itu pun menghilang.
Saya hanya berujar: Selamat jalan, hamba Gusti Allah yang waskita ….
Orang yang bisa terbang atau meloncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain ini bagi para leluhur tanah Jawa adalah soal yang mudah. Gaya hidup keseharian para leluhur yang dekat bahkan menyatu dengan alam membuat mereka mampu menemukan ilmu/aji yang beraneka rupa. Hobi para leluhur yang gentur olah rasa/batin, menggunakan ilmu titen untuk membaca fenomena alam dan gemar mempersatukan diri dengan semua jenis kekuatan (fisik dan metafisik) membuat mereka digdaya.
Para leluhur tidak perlu membeli handphone dan SMS untuk menghubungi para sedulurnya. Mereka juga tidak bisa menggunakan email atau facebook untuk saling curhat. Dari keterpisahan jarak dan waktu, mereka menggunakan kemampuan intuisi untuk saling berkomunikasi (orang sekarang menyebut telepati). Namun, bila dirasa sangat 'urgent 'untuk bertemu dengan sedulurnya, mereka akan berjalan kaki atau menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Segelintir leluhur lain yang waskita akan menggunakan ajian Sapu Jagad dan Bayu Bajra untuk bepergian jarak jauh.
Aji Bayu Bajra mensyaratkan agar penggunanya sudah memiliki kedewasaan mental spiritual. Ia haruslah orang yang sudah “berumur” dan tidak ingin menonjolkan diri lagi di depan publik. Dia sepi ing pamrih rame ing gawe. Tubuh fisiknya bisa seringan kapas karena dia tidak lagi diliputi nafsu keduniawian sedikitpun sehingga yang ada dalam hidupnya hanyalah menunggu titah-Nya saja. Jiwa yang masih “berat” condong ke dunia, mustahil memiliki ilmu ini dengan seempurna.
Para pemilik ilmu ajian ini adalah orang yang sangat pendiam. ‘Tapa meneng’ dan hanya boleh berbicara bila sangat terpaksa. Satu dua kalimat pun harus diucapkan dengan bijaksana. Yakni untuk menyampaikan ajaran-ajaran kebajikan yang menjadi tanggungjawab besarnya di dunia. Laku prihatin dan hidupnya harus bisa diteladani oleh orang yang pernah melihat dia walau hanya sekelebat.
Matra untuk matek Aji Bayu Bajra diingatnya di luar kepala. Itu mencerminkan jiwanya yang bebas seperti burung….
Mantranya adalah:
“Hong Wilaheng,Ingsun amatak ajiku si aji Bayu Bajra.
Putune Bayu Bajra, yo aku.
Sing duwe angkoso, sing duwe langit,
sing duwe awang-awang.
Aku mabur koyo manuk,
Kemlebat koyo alap-alap.
Mabur koyo bidho kang ora nate kesel.
Mabur……burrr!.
Maburku luwih banter tinimbang angen-angen...”.
Itulah mantra yang dibaca oleh hamba Gusti Allah yang pernah saya jumpai di kawasan selatan gunung Semeru yang kini entah ada di mana.
Sebagai rasa hormat saya kepadanya sekaligus untuk nguri-uri kebudayaan lokal yang kaya dimensi dan penuh dengan kearifan, maka pada kesempatan ini akan dibeber soal ilmu aji bayu bajra yang serupa dengan aji maruta.
Sekitar tahun 80-an di kawasan selatan gunung Semeru, perbatasan Kabupaten Lumajang-Malang, Jatim di hutan lindung yang lebat masih banyak menjumpai orang-orang yang memiliki ilmu/Aji Bayu Bajra. Mereka pating gleber seperti burung. Hinggap (Menclok) dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Persis seperti di film-film silat. Yang membedakan adalah saat kita dekati, mereka akan menjauh dan sama sekali tidak ingin identitasnya diungkap.
Suatu ketika dalam sebuah maneges, saya menjumpai seseorang pemilik ajian bayu bajra di wilayah itu. Duduk bersila di sebuah batu besar di tengah sungai mengalir gemericik. Saya mencoba menyapanya dengan salam. Dia tidak menjawab. Baru ketika saya mencoba untuk menggunakan bahasa tubuh yang artinya bahwa saya ingin bercakap-cakap dengannya, maka dia akhirnya memberi isyarat. Jari telunjuknya ditempatkan di depan mulut. Matanya memandang santun dan lembut mata saya. Sebuah sorotan yang sejuk namun tegas dan berdaya.
Batin saya langsung membaca ini orang waskita yang tidak sembarangan: dia sedang maneges kepada Gusti. Belum sempat saya meneruskan komunikasi dengan bahasa tubuh yang lain, dia langsung meloncat ke sebuah pohon yang rimbun dan meneruskan melompat ke pohon yang lain. Hingga akhirnya hanya gerakan-gerakan dedaunannya saja yang terlihat. Orang waskita itu pun menghilang.
Saya hanya berujar: Selamat jalan, hamba Gusti Allah yang waskita ….
Orang yang bisa terbang atau meloncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain ini bagi para leluhur tanah Jawa adalah soal yang mudah. Gaya hidup keseharian para leluhur yang dekat bahkan menyatu dengan alam membuat mereka mampu menemukan ilmu/aji yang beraneka rupa. Hobi para leluhur yang gentur olah rasa/batin, menggunakan ilmu titen untuk membaca fenomena alam dan gemar mempersatukan diri dengan semua jenis kekuatan (fisik dan metafisik) membuat mereka digdaya.
Para leluhur tidak perlu membeli handphone dan SMS untuk menghubungi para sedulurnya. Mereka juga tidak bisa menggunakan email atau facebook untuk saling curhat. Dari keterpisahan jarak dan waktu, mereka menggunakan kemampuan intuisi untuk saling berkomunikasi (orang sekarang menyebut telepati). Namun, bila dirasa sangat 'urgent 'untuk bertemu dengan sedulurnya, mereka akan berjalan kaki atau menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Segelintir leluhur lain yang waskita akan menggunakan ajian Sapu Jagad dan Bayu Bajra untuk bepergian jarak jauh.
Aji Bayu Bajra mensyaratkan agar penggunanya sudah memiliki kedewasaan mental spiritual. Ia haruslah orang yang sudah “berumur” dan tidak ingin menonjolkan diri lagi di depan publik. Dia sepi ing pamrih rame ing gawe. Tubuh fisiknya bisa seringan kapas karena dia tidak lagi diliputi nafsu keduniawian sedikitpun sehingga yang ada dalam hidupnya hanyalah menunggu titah-Nya saja. Jiwa yang masih “berat” condong ke dunia, mustahil memiliki ilmu ini dengan seempurna.
Para pemilik ilmu ajian ini adalah orang yang sangat pendiam. ‘Tapa meneng’ dan hanya boleh berbicara bila sangat terpaksa. Satu dua kalimat pun harus diucapkan dengan bijaksana. Yakni untuk menyampaikan ajaran-ajaran kebajikan yang menjadi tanggungjawab besarnya di dunia. Laku prihatin dan hidupnya harus bisa diteladani oleh orang yang pernah melihat dia walau hanya sekelebat.
Matra untuk matek Aji Bayu Bajra diingatnya di luar kepala. Itu mencerminkan jiwanya yang bebas seperti burung….
Mantranya adalah:
“Hong Wilaheng,Ingsun amatak ajiku si aji Bayu Bajra.
Putune Bayu Bajra, yo aku.
Sing duwe angkoso, sing duwe langit,
sing duwe awang-awang.
Aku mabur koyo manuk,
Kemlebat koyo alap-alap.
Mabur koyo bidho kang ora nate kesel.
Mabur……burrr!.
Maburku luwih banter tinimbang angen-angen...”.
Itulah mantra yang dibaca oleh hamba Gusti Allah yang pernah saya jumpai di kawasan selatan gunung Semeru yang kini entah ada di mana.
Langganan:
Komentar (Atom)